Saturday, 14 May 2011

Kekuatan Ruh Optimis dan Positif

Bismillahirrahmanirrahim dan assalamualaikum.

perkongsian dari seorang ustaz mungkin ringkas dan mudah tajuknya, tapi padat isinya. penyampaiannya begitu dekat di hati. Allahamdulillah, jadi saya kongsikan bersama penyampaian beliau.

Mengikut pandangan Islam, manusia itu pada asasnya adalah :
1.     Makhluk suci.
2.     Dilahirkan dalam keadaan suci.
3.     Mampu kembali lagi kepada kesuciannya.

Pandangan tersebut merupakan pandangan yang sangat positif dan optimis tentang manusia.
Di dalam Al Qur’an, Allah swt menyebut manusia sebagai makhluk yang paling baik atau paling sempurna.

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS At-Tin : 4) 

Islam juga mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang diberikan kemuliaan.

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.” (QS Al Isra’ : 70)

Salah satu contoh aplikasi pandangan positif dan optimis Islam tentang manusia adalah penyebutan hati (qalbu) dengan istilah ‘nurani’ .

Perkataan ini berasal dari kata ‘nuur’ yang ertinya cahaya. Jadi, ‘nurani’  bererti memiliki sifat cahaya. Oleh yang demikian, ketika kita menyebut ‘hati nurani’ sesungguhnya terkandung maksud bahwa hati kita itu memiliki kemampuan untuk ‘memberi cahaya’ atau ‘menerangi’ jalan hidup kita.  

Oleh kerana itulah Rasulullah saw, ketika ditanya seseorang tentang cara untuk membezakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk, baginda menjawab ;
“Tanyalah kepada hatimu!”

Dari jawaban Rasulullah saw tersebut (bahwa hati kita memiliki kemampuan untuk menerangi jalan hidup kita), ulama’ tasauf sering menyebut hati sebagai “ad-diin” (agama). Maksudnya, agama yang ditanam di dalam diri manusia dan sangat bersesuaian dengan agama yang diturunkan dari langit iaitu‘Al Islam’.



Meskipun begitu, Islam juga memberi catatan tentang kelemahan manusia.
“… dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS An-Nisa’ : 28)  

Kelemahan manusia di sini adalah kelemahan jiwa. Manusia mudah tergoda untuk berbuat dosa dan mengotori kesucian jiwanya. Kelemahan inilah yang membuatkan manusia keluar dari asal jati dirinya sebagai makhluk yang suci dan mulia.
Dalam keadaan jiwa yang kotor dan penuh dosa, darjat manusia boleh menjadi lebih rendah dari binatang sekalipun.

“… mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti haiwan ternak, bahkan lebih sesat lagi….” (QS Al A’raf : 179) 

Kepada orang-orang yang “tersasar” dari asal jati dirinya, Allah swt memberi kesempatan dan banyak sekali kemudahan untuk membersihkan diri dari segala kotoran jiwa yang melekat.
Di antaranya ialah :
1.     Istighfar (ucapan “astaghfirullah al-azhim”, aku mohon ampun kepada Allah Yang Maha Tinggi)  yang boleh diucapkan bila-bila masa dan di mana sekalipun. 
2.     Kemudahan lima kesempatan dalam sehari melalui solat wajib. 
3.     Kemudahan mingguan dengan solat Jumaat. Bagi yang menunaikan solat Jumaat, sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw, Allah swt akan memberi ampunan dosa dari solat Jumaat ke solat Jumaat berikutnya. 
4.     Kemudahan yang paling bermakna adalah kemudahan tahunan iaitu Ramadhan! Sabda Rasulullah saw : “Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan iman dan perhitungan, diampuni segala dosanya di masa lalu.” (HR Ahmad) 
Begitulah Ramadhan, sesuai dengan erti namanya iaitu “pembakar”, Ramadhan membakar semua dosa-dosa seseorang muslim sehingga ia kembali kepada jati dirinya sebagai insan yang suci seperti ketika dilahirkan (fitrah).
Segala kemudahan berupa ampunan yang Allah swt berikan kepada manusia yang berdosa untuk kembali kepada fitrahnya adalah menjadi sebab bagi seorang pendakwah untuk tidak memberi alasan dari berdakwah kepada orang yang membangkang kepada Allah swt walaupun setingkat dengan Fir’aun sekalipun.

“Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun kerana dia benar-benar telah melampaui batas; maka bicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lembah lembut, mudah-mudahan dia sedar atau takut.” (QS Thaha : 42-43) 

Begitulah keadaan Allah swt sepertimana sabda Rasulullah saw :

“Allah mengembangkan tanganNya pada waktu malam untuk memberi taubat kepada orang yang melakukan keburukan di waktu siang dan mengembangkan tanganNya di waktu siang untuk memberi taubat kepada orang yang melakukan dosa di waktu malam. Hal itu terus berlangsung hingga matahari terbit dari barat (kiamat).” (HR Bukhari)

“Allah lebih senang mendapati hambaNya yang bertaubat melebihi dari kegembiraan seseorang dari kamu yang kembali menemui haiwan kenderaannya yang penuh bekalan makanan setelah ia kehilangannya di padang pasir,” tambah Rasulullah saw. (HR Bukhari) 

Oleh sebab itu, tidak ada dalam kamus seorang pendakwah, kalimat berikut :

 “Tinggal sahaja dia itu, dia sudah tidak boleh diubah lagi!”  

Ini adalah kerana seorang pendakwah hendaklah sentiasa memakai cermin mata ‘positif’ dalam memandang manusia walau siapapun dia selama mana sebutannya masih manusia dan belum masuk kubur, ia adalah makhluk yang suci, dilahirkan dalam keadaan suci dan mampu kembali lagi kepada kesuciannya.

Jika kita meneliti Surah ‘Adh-Dhuha’, ia sesungguhnya memberikan pengajaran yang sangat mendalam tentang berfikir secara positif.

Di sudut lain, solat Sunnah Dhuha dianggap sebagai solat sunnah memohon rezeki. Jadi, apa hubungan dari semua ini?

Erti Dhuha adalah saat matahari naik di pagi hari. Oleh kerana itu, waktu yang paling sesuai untuk melaksanakan solat Dhuha adalah ketika matahari naik sepenggalah atau sekitar pukul 8 pagi.

Surah ini dimulai dengan sumpah bermula dengan huruf ‘wau’ dan ‘dhuha’ sebagai objek yang digunakan untuk bersumpah.

Pendapat yang wujud di kalangan ulama’  terdahulu mengatakan bahwa sumpah Al Qur’an dengan‘wau’ mengandungi makna pengagungan terhadap objek yang digunakan untuk bersumpah.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa sumpah Allah dengan sebahagian makhlukNya menunjukkan bahwa ia termasuk tanda-tanda kekuasaanNya yang besar.

Menurut Muhammad Abduh, sumpah dengan ‘dhuha’ (cahaya matahari di waktu pagi) dimaksudkan untuk menunjukkan pentingnya dan besarnya kadar kenikmatan di dalamnya.

Ia juga bererti pada saat matahari naik di pagi hari (Dhuha) dan pada saat sunyinya malam, ada rahsia penting tentang nikmat Allah di dalamnya.

Mari kita renungkan satu persatu lanjutan ayat-ayatnya.

“Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu” (QS Adh Dhuha : 3)
  
Para mufassir sepakat bahwa latar belakang turunnya surah ini adalah lambat turunnya wahyu kepada Rasulullah saw. Keadaan ini dirasakan berat oleh Rasulullah saw, sehingga ada yang mengatakan bahwa Muhammad saw telah ditinggalkan oleh Tuhannya dan dibenciNya.

Ayat ini memberikan arahan kepada Rasulullah saw agar tetap berfikiran positif kepada Allah swt dan tidak menduga-duga perkara yang negatif atau buruk seperti yang ada di dalam fikiran orang-orang munafik dan musyrik.

“dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk…” (QS Al Fath : 6)
  
Walaupun kehidupan kita berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, yakinlah bahwa hari-hari kemudian akan lebih baik dari hari-hari sekarang dan hari-hari yang telah lalu.

“Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).” (QS Adh Dhuha : 4)
  
Berprasangka baiklah kepada Allah swt yang akan memberikan kurnia dan rahmat yang besar di hari-hari esok dan JANGAN BERPUTUS ASA!
  
“Sesungguhnya Allah mencintai sikap optimis dan membenci sikap putus asa” ( AlHadits)
  
Walaupun sepanjang hidup kita di dunia, sentiasa dalam kesulitan dan kesempitan, kita tetap berfikiran positif bahwa kelimpahan dan kenikmatan akan Allah berikan kepada kita di Hari Akhirat. Maka orang yang mampu berfikiran positif seperti itu tetap tersenyum bahagia dalam menjalani kesulitan kehidupannya di dunia.

“Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan kurniaNya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” (QS Adh Dhuha : 5)
  
Sikap optimis dan yakin untuk bertemu Allah swt di hari Akhirat nanti dan mendapatkan limpahan kurniaNya yang tidak terkira, sungguh akan memuaskan hati kita.

Kurniaan Allah kepada penduduk dunia adalah seumpama air yang menitis dari jari yang dicelupkan ke lautan, dibandingkan kurniaan Allah di hari Akhirat yang seluas lautan itu sendiri.

BAGAIMANAKAH CARA AGAR MAMPU BERFIKIRAN POSITIF?
  
PERTAMA :
  
Ingatlah akan semua nikmat-nikmat Allah yang jika kita hitung, tentu kita tidak akan mampu menghitungnya.

“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan?.” (qs Adh Dhuha : 6 – 8)
  
KEDUA :
  
Ingat dan renungkan betapa luasnya nikmat Allah kepada kita.

Apakah nikmat Allah yang paling kita syukuri?

Contohnya melihat kepada tulisan yang kita hasilkan yang melibatkan kerja berjuta-juta sel otak kita yang juga merupakan tentera-tentera Allah swt. Bagaimana jika sel-sel itu tidak bekerja?

Marilah kita bersyukur dengan :

a.       Lisan.
b.      Fikiran.
c.       Perasaan.

Nikmat sekecil apapun, dengan lisan, kita mesti ucapkan “Alhamdulillah” yang didukung dengan fikiran dan perasaan kita.

Hulurkan rasa terima kasih yang tidak terhingga sebagaimana keadaan :

1.      Seorang pengemis yang berhari-hari kekurangan makan dan diberi makan oleh seorang yang kaya.
2.      Seorang pesakit yang sudah berbulan-bulan menderita sakit dan disembuhkan dengan bantuan seorang doktor.

Yang Allah berikan kepada kita sebenarnya lebih dari apa yang diberikan oleh orang kaya dan doktor di atas, namun mengapa kita lupa mengucapkan terima kasih kepadaNya?

Amat wajar jika Allah belum menambah nikmat kepada kita kerana nikmat-nikmat yang telah diberikan sebelum ini sahajapun belum kita syukuri sebagaimana semestinya.

Walaupun ada kesulitan dan kekurangan dalam hidup kita, kurniaan dan limpahan nikmat dari Allah masih jauh lebih besar.

Lihatlah ke bawah dan perhatikan :

a.       Orang-orang yang lebih susah dari kita.
b.      Orang-orang yang lebih sakit dari kita.
c.       Orang-orang yang lebih miskin dari kita.

Jangan selalu melihat ke atas. 
Melihat ke bawah akan : 
1.      Menghaluskan jiwa.
2.      Melembutkan perasaan.
3.      Menghidupkan syukur.
4.      Mengubati tekanan hidup.
5.      Menghilangkan ketidakpuasan.
6.      Mengelakkan dari putus asa.
 Setelah bersyukur dengan lisan, fikiran dan perasaan, maka, syukur yang sebenarnya adalah syukur dengan amal.

“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah kamu mengherdiknya.” (QS Adh Dhuha : 9 – 10)
  
Seorang yang bersyukur akan memanfaatkan nikmat-nikmat yang diperolehinya untuk :

a.       Ibadah.
b.      Amal soleh.
c.       Perbuatan baik terhadap sesama manusia.

Itulah yang dimaksudkan dalam ayat terakhir dari surah Adh Dhuha ini :

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS Adh Dhuha : 11)
  
Ya Allah, jadikanlah diri kami orang yang sentiasa berfikiran positif dan optimis terhadap segala janji-janjiMu. Sesungguhnya kami meyakini bahwa Engkau akan sentiasa menolong orang-orang yang membantu menegakkan agamaMu dan memperkukuhkan kaki-kaki kami terhadap musuh kami dan musuhMu.

Ameen Ya Rabbal Alameen

sumber asal : Wan Ahmad Sanadi Wan Ali

No comments:

Post a Comment